Sentuhan Allah yang paling pertama saya rasakan adalah pada saat saya berumur 5-6 tahun. Pada usia itu, entah bagaimana caranya, ternyata saya sudah bisa membaca huruf latin tanpa harus mengeja huruf demi huruf.
Hal itu baru disadari Bapak saya pada waktu itu (sekarang sudah Almarhum, semoga Allah memberinya tempat yang terbaik) ketika secara tidak sengaja mendengar saya membaca koran pagi, dan hari-hari selanjutnya saya terus diberi tugas membacakan koran pagi untuk Bapak saya, guna mengasah kemampuan membaca saya pada usia itu. Yang kemudian diteruskan dengan latihan menulis huruf-huruf yang saya baca.
Saya masih ingat, ketika saya memprotes kepada Bapak dan Ibu saya, karena sebelum saya bisa membaca, saya sering mendengar mereka menyebut judul "Ujung Pandang sehari-hari" untuk sebuah rubrik yang selalu berada di pojok kanan atas halaman pertama harian Pedoman Rakyat (terbit di Makassar, waktu itu masih bernama Ujung Pandang), yang ternyata setelah saya bisa membacanya, tulisan sebenarnya adalah "Jumpandang sehari-hari" (Jumpandang = Ujung Pandang dalam dialek Makassar).
Saya juga masih ingat ketika teman-teman bermain saya yang lebih besar dan sudah bersekolah, menguji saya dengan menyuruh saya membaca merek pada sebuah pesawat televisi, dan saya membacanya dengan lancar: san-yo. Teman-teman menertawakan saya, katanya bacaan yang benar itu adalah sa-nyo. Tapi ternyata sekarang dalam iklan-iklan yang ditayangkan dalam media audio-visual, bacaan yang benar ternyata memang san-yo
Meski saya masih kecil pada waktu itu, tetap ingatan-ingatan ini sangat lekat, karena dalam banyak hal, kemampuan saya selalu menjadi pembicaraan dalam keluarga dan kerabat saya, bahkan setiap ada keluarga dan kerabat yang berkunjung, saya selalu harus menjalani 'ujian' untuk memamerkan kebolehan saya.Hingga saya sebesar ini, saat saya berkesempatan mengunjungi keluarga di Luwuk Banggai (kampung halaman Ibu saya) dan di Gorontalo (tempat kelahiran Alm. Bapak saya), keluarga dan kerabat bisa mengingat dan mengenali saya dengan mengingat si Opan (nama kecil saya) yang bisa membaca sebelum sekolah.
Jika ingin dipikir secara logis, bagaimana bisa terjadi, jawaban yang paling mungkin menurut saya adalah, saya menguping saat kakak saya belajar membaca di rumah. Saya dan kakak (perempuan) saya berselisih usia satu tahun. Dia sudah masuk sekolah pada saat berusia 6 tahun, bararti saya baru berusia 5 tahun. Saya dan kakak saya, dan semua saudara saya tidak pernah merasakan bangku TK, kecuali adik bungsu saya yang sempat duduk di bangku TK satu hari saja, besoknya sudah di kelas satu SD. He he he ajaib bukan..
Banyak anak sekarang yang sudah bisa membaca pada usia 5 tahun, tetapi mereka mendapatkan kemampuannya melalui bangku TK, atau diajar secara khusus oleh orang tuanya sebelum mereka masuk ke TK. Paling tidak begitu pengamatan istri saya yang kebetulan menjadi guru TK.
Dari perbandingan itu, saya meyakini kemampuan belajar membaca sendiri bagi saya merupakan suatu anugrah dan merupakan satu sentuhan yang luar biasa untuk saya dari Allah SWT. Hingga sekarang sentuhan Allah dalam bentuk kemampuan otodidak itu telah membuat saya memahami dan menguasai banyak hal, termasuk penguasaan ilmu komputer yang menjadi tempat saya mencari nafkah dan membawa saya kuliah S2 ke Jogjakarta sekarang ini (disiplin ilmu S1 saya adalah teknik Arsitektur).
Mungkin bukan hanya saya anak yang mendapatkan anugerah seperti itu, tapi saya yakin jumlahnya tidak banyak. Dan bagaimana pun itu merupakan suatu hal yang harus di syukuri. Subhanallah.
No comments:
Post a Comment